صحيح ابن حبان ٣٨١: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ وَرْدَانَ بِمِصْرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الْوَقَّارُ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ اللهِ جَلَّ وَعَلاَ، قَالَ: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا، فَاكْتُبُوهَا لَهُ سَيِّئَةً، فَإِنْ تَابَ مِنْهَا، فَامْحُوهَا عَنْهُ، وَإِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا، فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ.
Shahih Ibnu Hibban 381: Ismail bin Daud bin Wardan di Mesir mengabarkan kami, ia berkata, “Zakariya bin Yahya Al Wiqariy menceritakan kepada kami, Ibnu Wahab menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zinad, dari Al A’raj, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah S A W, dari Allah Jalla wa ‘Alaa, Dia berfirman, “Jika hamba-Ku berniat melakukan satu kejelekan kemudian tidak jadi ia lakukan, maka catatlah untuknya satu kebaikan. Jika ia tetap melakukannya, maka catatlah untuknya satu dosa. Dan jika ia bertaubat setelah itu, maka hapuslah dosanya. Apabila hamba-Ku berniat melakukan satu kebaikan namun tidak ia lakukan, maka catatlah untuknya satu kebaikan. Jika ia melakukannya, maka lipatgandakanlah kebaikannya itu menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat.” 104 [1:2]
صحيح ابن حبان ٣٨٢: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا شَبَابَةُ، عَنْ وَرْقَاءَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ قَالَ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً، فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلْهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا مِثْلَهَا، فَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي، فَاكْتُبُوهَا حَسَنَةً فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً، فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ عَشْرَةَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ.
Shahih Ibnu Hibban 382: Umar bin Muhammad Al Hamdani mengabarkan kepada kami, Al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah menceritakan kepada kami, Syababah menceritakan kepada kami, dari Waraqa’, dari Abu Az-Zinad, dari Al A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Apabila hamba-Ku ingin berbuat kejelekan, maka jangan kalian (malaikat) catat sebelum ia benar-benar telah melakukannya. Apabila ia melakukannya, maka catatlah keburukan itu dengan satu dosa. Jika ia meninggalkannya karena Aku, maka catatlah itu sebagai sebuah kebaikan. Dan apabila hamba-Ku ingin berbuat kebaikan, maka catatlah untuknya satu pahala kebaikan. Jika ia melakukannya, maka lipatgandakanlah kebaikannya itu menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali ”105 [3:68]
صحيح ابن حبان ٣٨٣: أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْحُبَابِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلاَءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: عنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِالْحَسَنَةِ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا، كَتَبْتُهَا لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، وَإِنْ هَمَّ عَبْدِي بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا، لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا، كَتَبْتُهَا وَاحِدَةً. قَالَ أَبُو حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: قَوْلُهُ جَلَّ وَعَلاَ: إِذَا هَمَّ عَبْدِي أَرَادَ بِهِ إِذَا عَزَمَ، فَسَمَّى الْعَزْمَ هَمًّا، لأَنَّ الْعَزْمَ نِهَايَةُ الْهَمِّ، وَالْعَرَبُ فِي لُغَتِهَا تُطْلِقُ اسْمَ الْبَدَاءَةِ عَلَى النِّهَايَةِ، وَاسْمَ النِّهَايَةِ عَلَى الْبَدَاءَةِ، لأَنَّ الْهَمَّ لاَ يُكْتَبُ عَلَى الْمَرْءِ، لأَنَّهُ خَاطِرٌ لاَ حُكْمَ لَهُ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ يَكْتُبُ لِمَنْ هَمَّ بِالْحَسَنَةِ الْحَسَنَةَ، وَإِنْ لَمْ يَعْزِمْ عَلَيْهِ وَلاَ عَمِلَهُ لِفَضْلِ الإِسْلاَمِ، فَتَوْفِيقُ اللهِ الْعَبْدَ لِلإِسْلاَمِ فَضْلٌ تَفَضَّلَ بِهِ عَلَيْهِ، وَكِتْبَتُهُ مَا هَمَّ بِهِ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَلَمَّا يَعْمَلْهَا فَضْلٌ، وَكِتْبَتُهُ مَا هَمَّ بِهِ مِنَ السَّيِّئَاتِ وَلَمَّا يَعْمَلْهَا لَوْ كَتَبَهَا، لَكَانَ عَدْلاً، وَفَضْلُهُ قَدْ سَبَقَ عَدْلَهُ، كَمَا أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، فَمِنْ فَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ مَا لَمْ يُكْتَبْ عَلَى صِبْيَانِ الْمُسْلِمِينَ مَا يَعْمَلُونَ مِنْ سَيِّئَةٍ قَبْلَ الْبُلُوغِ، وَكَتَبَ لَهُمْ مَا يَعْمَلُونَهُ مِنْ حَسَنَةٍ، كَذَلِكَ هَذَا وَلاَ فَرْقَ.
Shahih Ibnu Hibban 383: Al Fadhl bin Al Hubab mengabarkan kepada kami, ia berkata, “Al Qa’nabi menceritakan kepada kami, ia berkata, “Abdul Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kami, dari Al A’la', dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Tabaaraka wa Ta ’alaa berfirman, “Apabila hamba-Ku berniat melakukan kebaikan dan belum ia lakukan, maka Aku akan mencatat untuknya satu kebaikan. Jika ia melakukannya, Aku akan catat untuknya dengan sepuluh kebaikan. Dan apabila hamba-Ku berniat melakukan keburukan dan belum ia lakukan, maka Aku belum mencatat keburukannya itu. Jika ia melakukannya, Aku akan catat untuknya satu keburukan. ”106 Abu Hatim RA berkata, Firman Allah Jalla wa ‘Alla: “Jika Hamba-Ku berniat”: Seseorang menghendaki melakukan suatu perbuatan jika ia terlebih dahulu mempunyai niat. Maka Azam di sebut dengan Hammu. Karena Azam merupakan puncak dari hamm. Bangsa Arab di dalam bahasanya seringkali menyebut nama untuk permulaan di gunakan untuk akhiran, begitu juga sebaliknya. Bahwa hamm tidak akan dicatat atas seseorang, sebab ia hanya lintasan hati saja yang tidak mempunyai efek hukum. Dan bisa juga bahwa Allah SWT mencatat bagi orang yang berniat melakukan kebaikan dengan satu kebaikan, sekalipun ia tidak azamkan dan keijakan, hal itu karena keutamaan di dalam Islam. Maka Pertolongan Allah SWT kepada seorang hamba adalah merupakan keutamaan yang Ia persilakan] kepada hamba-Nya untuk merasakannya. Pencatatan-Nya terhadap sesuatu kebaikan yang ia ingin kerjakan meskipun belum ia kerjakan, juga merupakan keutamaan. Begitupun terhadap niat buruk yangl belum dikerjakan, yang seandainya Allah SWT catat menjadi satu keburukan, sebagaimana pada niat baik, maka itu pun masih menunjukkan Adilnya Allah SWT. Keutamaan Allah SWT melampaui keadilan-Nya, sebagaimana Rahmat-Nya melampaui kemurkaan-Nya. Dengan demikian, berkat keutamaan (keanugerahan) dan rahmat-Nya, anak kecil muslim yang belum baligh, yang melakukan perbuatan jelek tidak akan Allah SWT catat. Sedangkan jika ia melakukan perbuatan baik, maka ia akan di catat. Seperti inilah keterangannya, dan tidak ada perbedaan mengenainya. [1:2]
صحيح ابن حبان ٣٨٤: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الأَزْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ اللهِ جَلَّ وَعَلاَ، قَالَ: مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبْتُ لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا، كَتَبْتُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، لَمْ أَكْتُبْ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا، كَتَبْتُهَا عَلَيْهِ سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
Shahih Ibnu Hibban 384: Abdullah bin Muhammad Al Azdi mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ishaq bin Ibrahim menceritakan kepada kami, ia berkata, An-Nadhr bin Syumail menceritakan kepada kami, ia berkata, “Hisyam menceritakan kepada kami, dari Muhammad, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah Jalla wa ‘Ala, Dia berfirman, “Barangsiapa yang berniat melakukan satu kebaikan, dan belum ia lakukan, maka Aku akan catat untuknya satu kebaikan. Jika mengerjakannya, Aku lipatgandakan kebaikannya itu menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Dan apabila ia berniat melakukan satu keburukan, dan belum ia lakukan, Aku tidak akan mencatatnya. Jika melakukannya, Aku catat untuknya satu keburukan. ” 107 [1:2]
صحيح ابن حبان ٣٨٥: أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْلَى، حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ جَارِيَةَ اللَّخْمِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ الشَّعْبَانِيُّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيَّ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا ثَعْلَبَةَ كَيْفَ تَقُولُ فِي هَذِهِ الآيَةِ: {لاَ يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ}؟ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْهَا خَبِيرًا: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقَالَ: بَلِ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا، وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ نَفْسَكَ، وَدَعْ أَمْرَ الْعَوَامِّ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا، الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلاً يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ، قَالَ وَزَادَنِي غَيْرُهُ يَا رَسُولَ اللهِ، أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: خَمْسِينَ مِنْكُمْ. قَالَ أَبُو حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ الَّذِي قَالَ: وَزَادَنِي غَيْرُهُ.
Shahih Ibnu Hibban 385: Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, Abu Ar-Rabi’ Az- Zahrani menceritakan kepada kami, Ibnu Mubarak menceritakan kepada kami, dari ‘Utbah bin Abi108 Hakim, ia berkata, ‘Amar bin Jariyah Al Lakhmiy menceritakan kepadaku, Abu Umayyah Asy- Sya’bani menceritakan kepada kami, ia berkata, aku mendatangi Abu Tsa’labah Al Khasyani, lalu aku bertanya: Wahai Abu Tsa’labah, bagaimana kamu membaca (memahami) ayat ini: “Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (Qs. Al Maa'idah [5]: 105) ? Ia menjawab: Demi Allah, sungguh kamu telah bertanya tentangnya dengan sangat teliti. Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ayat itu, beliau menjawab: “Justru,saling memerintahkanlah kamu sekalian dengan perbuatan baik, dan saling mencegahlah dari perbuatan munkar. Sehingga apabila kamu melihat orang yang bakhil ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia yang diutamakan, dan ketakjuban setiap yang memiliki pendapat dengan pendapatnya. Maka tetaplah pada kemandirian diri sendiri. Tinggalkanlah perkara orang awam. Sebab sesungguhnya di balik kalian itu terdapat hari-hari (kesabaran yang berpahala). Sabar- tetap pada pendirian- pada hari-hari tersebut bagaikan memegang bara api. Orang yang beramal pada hari itu mendapatkan pahala seperti pahala lima puluh orang yang mengerjakan amalan yang serupa. Ibnu Mubarak berkata, “Dan ditambahkan kepadaku: Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah pahala lima puluh orang dari mereka ? beliau menjawab, “Lima puluh orang dari kalian“109
صحيح ابن حبان ٣٨٦: أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْلَى، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِي يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ، قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ، فَنَزَعَتْ لَهُ، فَسَقَتْهُ، فَغُفِرَ لَهَا.
Shahih Ibnu Hibban 386: Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami, Abu Khalid menceritakan kepada kami, dari Hisyam, dari Muhammad, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW: “Sesungguhnya seorang wanita pelacur melihat seekor anjing sedang mengelilingi sebuah telaga pada hari yang sangat panas. Anjing itu berusaha menjilatkan lidahnya karena kehausan. Ia kemudian menggunakan sepatunya yang dibuat dari kulit, yaitu khuf, untuk mengambil air telaga tersebut sehingga anjing tadi dapat minum. Oleh karena perbuatannya itu, dosa wanita tersebut diampuni.” 110 [3:6]
صحيح ابن حبان ٣٨٧: أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً، يَقُولُ: كَانَ ذُو الْكِفْلِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ يَتَوَرَّعُ مِنْ شَيْءٍ، فَهَوِيَ امْرَأَةً، فَرَاوَدَهَا عَلَى نَفْسِهَا، وَأَعْطَاهَا سِتِّينَ دِينَارًا، فَلَمَّا جَلَسَ مِنْهَا، بَكَتْ وَأُرْعِدَتْ، فقَالَ لَهَا: مَا لَكِ؟ فَقَالَتْ: إِنِّي وَاللَّهِ لَمْ أَعْمَلْ هَذَا الْعَمَلَ قَطُّ، وَمَا عَمِلْتُهُ إِلاَّ مِنْ حَاجَةٍ، قَالَ: فَنَدِمَ ذُو الْكِفْلِ، وَقَامَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ شَيْءٌ، فَأَدْرَكَهُ الْمَوْتُ مِنْ لَيْلَتِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ، وَجَدُوا عَلَى بَابِهِ مَكْتُوبًا: إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ.
Shahih Ibnu Hibban 387: Al Hasan bin Sufyan mengabarkan kepada kami, Qutaibah bi Sa’id menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Bakar bin Ayyasy menceritakan kepada kami, dari Al A’masyi, dari Abdullah bin Abdullah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari dua puluh kali bersabda seperti ini, “Ada seseorang yang bernama Dzul Kifli111 dari Bani Israil yang tidak pernah wara’ sedikitpun. (suatu ketika) ia menyukai seorang wanita dan menginginkan mencumbui dirinya. Kemudian ia berikan wanita itu uang sebesar enam puluh dinar. Maka tatkala ia duduk di sebelahnya, wanita itu menangis dan menjerit. Dzul Kifli bertanya kepadanya: Ada apa denganmu? Ia menjawab: Sesungguhnya, demi Allah, aku belum pernah sama sekali melakukan perbuatan (melacur) seperti ini, dan aku tidaklah melakukan ini kecuali karena ada kebutuhan yang sangat mendesak. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Mendengar itu, Dzul Kifli merasa sangat menyesal lalu ia bangun dan meninggalkannya dengan tidak melakukan apa-apa dan tidak mengambil uang yang telah di berikan kepada wanita itu. Pada malam harinya, ia tertidur dan bermimpi seakan-akan ia telah mati. Saat pagi harinya, ia mendapati di atas pintunya tertulis: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni dosamu”. 112 [3:6]
صحيح ابن حبان ٣٨٨: أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْقَبَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ هَاشِمٍ الطُّوسِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Shahih Ibnu Hibban 388: Ali bin Muhammad Al Qubbani mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Hasyim Ath-Thusi menceritakan kepada kami, Yahya bin Sa id Al Qathani menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari Alqamah bin Waqash, dari Umar bin Al Khaththab RA ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niat, dan bahwa tiap-tiap orang itu (mendapatkan balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa niatnya berhijrah untuk mencari keridhaan Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu akan mendapat pahala seperti yang ia niatkan; dan barangsiapa niat hijrahnya untuk memperoleh dunia atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya terbatas) pada tujuan yang diniatkannya saja.” 113 [3:24]
صحيح ابن حبان ٣٨٩: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Shahih Ibnu Hibban 389: Umar bin Sa’id bin Sinan mengabarkan kepada kami, ia berkata, “Ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata, Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari Alqamah bin Waqash Al- Laitsi, dari Umar bin Al Khaththab, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niat, dan bahwa tiap-tiap orang itu (mendapatkan balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa niatnya berhijrah untuk mencari keridhaan Allah SWT dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu akan mendapat pahala seperti yang ia niatkan; dan barangsiapa niat hijrahnya untuk memperoleh dunia atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya terbatas) pada tujuan yang diniatkannya saja.”114 [3:66]
صحيح ابن حبان ٣٩٠: أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي مَعْشَرٍ، بِخَبَرٍ غَرِيبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ أَبِي كَرِيمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحِيمِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي الضُّحَى، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: كُنْتُ مُسْتَتِرًا بِحِجَابِ الْكَعْبَةِ، وَفِي الْمَسْجِدِ رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ وَخَتَنَاهُ قُرَشِيَّانِ، فَقَالُوا: تَرَوْنَ أَنَّ اللَّهَ يَسْمَعُ حَدِيثَنَا؟ فقَالَ أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يَسْمَعُ إِذَا رَفَعْنَا، فقَالَ رَجُلٌ: لَئِنْ كَانَ يَسْمَعُ إِذَا رَفَعْنَا، لَيَسْمَعَنَّ إِذَا أَخْفَيْنَا وَقَالَ الآخَرُ: مَا أَرَى إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ يَسْمَعُ حَدِيثَنَا، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: فَأَتَيْتُ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ بِقَوْلِهِمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلاَ أَبْصَارُكُمْ} إِلَى آخِرِ الآيَةِ.
Shahih Ibnu Hibban 390: Al Husain bin Muhammad bin Abu Ma’syar dengan Hadits gharib mengabarkan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Wahab bin Abu Karimah menceritakan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Salamah menceritakan kepada kami, dari Abu Abdurrahim, dari Zaid bin Abu Unaisah, dari Al A’masyi, dari Abu Adh-Dhuha, dari Masruq, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, aku sedang berada di tempat yang tertutup dengan penghalang Ka’bah, dan di dalam Masjid terdapat seseorang dari Bani Tsaqif dan dua orang menantu Quraisy. Mereka bertanya, “Bagaimana pendapatmu, apakah Allah SWT mendengar pembicaraan kita? Salah seorang dari keduanya menjawab, “Sesungguhnya Allah SWT hanya mendengar pembicaraan kita jika kita meninggikan suara.” Seseorang menjawab, “Jika Ia mendengar bila kita meninggikan suara, niscaya Ia pun juga mendengar bila kita memelankan suara. Seseorang yang lainnya menjawab, “Menurut pendapatku, Allah SWT mendengar semua pembicaraan kita, baik keras maupun pelan. Ibnu Mas’ud berkata, “Kemudian aku mendatangai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan pembicaraan mereka. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini: “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” 115 (Qs. Fushshilat [41]:22) [3:64]