مسند الشافعي

Musnad Syafi'i

Musnad Syafi'i #1431

مسند الشافعي ١٤٣١: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، بِأَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ، يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَهِيَ حَامِلٌ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: إِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا فَقَدْ حَلَّتْ، فَأَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «لَوْ وَلَدَتْ وَزَوْجُهَا عَلَى سَرِيرِهِ لَمْ يُدْفَنْ لَحَلَّتْ»

Musnad Syafi'i 1431: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Ibnu Umar bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka Ibnu Umar menjawab, "Apabila dia telah melahirkan, berarti dia telah halal (untuk kawin)." Ia mendapat berita dari seorang lelaki kalangan Anshar bahwa Umar bin Al Khaththab pernah berkata, "Seandainya seorang istri melahirkan, sedangkan jenazah suaminya masih ada di atas peraduannya dan belum dikebumikan, dia benar- benar telah halal (untuk kawin lagi)." 665

Musnad Syafi'i #1432

مسند الشافعي ١٤٣٢: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَيْسَ لِلْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا نَفَقَةٌ، حَسْبُهَا الْمِيرَاثُ»

Musnad Syafi'i 1432: Abdul Majid menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, ia berkata, 'Tidak ada nafkah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, sudah cukup baginya mendapat warisan." 666

Musnad Syafi'i #1433

مسند الشافعي ١٤٣٣: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَرْأَةِ الْبَادِيَةِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا أَنَّهَا «تَنْتَوِي حَيْثُ يَنْتَوِي أَهْلُهَا»

Musnad Syafi'i 1433: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya yang mengatakan sehubungan dengan masalah seorang wanita badui yang ditinggal mati suaminya: Bahwa wanita tersebut tinggal di tempat keluarganya berdiam. 667

Musnad Syafi'i #1434

مسند الشافعي ١٤٣٤: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، وَعَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، مِثْلَهُ أَوْ مِثْلَ مَعْنَاهُ، لَا يُخَالِفُهُ

Musnad Syafi'i 1434: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Hisyam, dari ayahnya dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah tentang hal yang semisal atau semakna dengannya, tanpa ada perbedaan. 668

Musnad Syafi'i #1435

مسند الشافعي ١٤٣٥: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ، قَالَ: قَالَتْ زَيْنَبُ: " دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ أَبُو سُفْيَانَ، فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ، خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَحَتْ بِعَارِضَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ مَالِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ، غَيْرَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»

Musnad Syafi'i 1435: Malik menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari Humaid bin Nafi', dari Zainab binti Abu Sfllamah bahwa dia telah menceritakan kepadanya (Humaid bin Nafif) ketiga hadits berikut. Zainab menceritakan: Aku masuk menemui Ummu Habibah - istri Nabi - ketika Abu Sufyan meninggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang terbuat dari minyak za'faran atau lainnya dan memakaikan sebagian darinya kepada budak perempuannya, kemudian ia sendiri mengusap dadanya dengan minyak itu, lalu ia berkata, "Demi Allah, sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi melainkan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan belasungkawa atas mayit lebih dari 3 malam; kecuali bila ditinggal mati oleh suami, maka (iddahnya) 4 bulan 10 hari"

Musnad Syafi'i #1436

مسند الشافعي ١٤٣٦: وَقَالَتْ زَيْنَبُ: دَخَلْتُ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ حِينَ تُوُفِّيَ أَخُوهَا عَبْدُ اللَّهِ، فَدَعَتْ بِطِيبٍ فَمَسَّتْ مِنْهُ ثُمَّ قَالَتْ: مَالِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ، غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ: «لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»

Musnad Syafi'i 1436: Zainab menceritakan pula: Aku masuk menemui Zainab binti Jahsy ketika saudara laki-lakinya, Abdullah, meninggal duma. Lalu Zainab meminta minyak wangi dan memakai sebagian darinya, kemudian berkata, "Sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi, hanya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbarnya, 'Wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak halal melakukan iddah atas meninggalnya seseorang lebih dari 3 hari; kecuali karena ditinggal mati suami, maka iddahnya 4 bulan 10 hari'."

Musnad Syafi'i #1437

مسند الشافعي ١٤٣٧: قَالَتْ زَيْنَبُ: وَسَمِعْتُ أُمِّي أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَيْهَا، أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا» مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ: «لَا» ، ثُمَّ قَالَ: " إِنَّمَا هِيَ {أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [الْبَقَرَة: 234] ، وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ " قَالَ حُمَيْدٌ: فَقُلْتُ [ص:301] لِزَيْنَبَ: وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ؟ فَقَالَتْ زَيْنَبُ: كَانَتِ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا وَلَا شَيْئًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ، ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَيْرٍ فَتَقْبِصُ بِهِ، فَقَلَّمَا تَقْبِصُ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ، ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعْرَةً فَتَرْمِي بِهَا، ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: الْحِفْشُ: الْبَيْتُ الصَّغِيرُ الذَّلِيلُ مِنَ الشَّعْرِ وَالْبِنَاءِ وَغَيْرِهِ، وَالْقَبْصُ: أَنْ تَأْخُذَ مِنَ الدَّابَّةِ مَوْضِعًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهَا، وَالْقَبْضُ: الْأَخْذُ بِالْكَفِّ كُلِّهَا

Musnad Syafi'i 1437: Zainab menceritakan pula: Aku pernah mendengar ibuku - Ummu Salamah- berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi , lalu berkata, 'Sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati suaminya, sedangkan dia sakit mata, bolehkah kami memakaikaan celak mata kepadanya?' Maka Rasulullah menjawab, Tidak boleh', sebanyak 2 atau 3 kali, yang semuanya dikatakan tidak boleh. Setelah itu beliau bersabda, 'Sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Dahulu di masa Jahiliyah seseorang di antara kalian (yang melakukan iddah) melemparkan kotoran hewan pada penghujung tahunnya." Humaid berkata, "Maka aku bertanya kepada Zainab, 'Apakah arti melemparkan kotoran hewan di penghujung tahunnya?"' Zainab menjawab, "Dahulu bila ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia memasuki rumah kecil dan memakai pakaiannya yang paling buruk tanpa memakai wewangian dan apapun juga hingga lewat masa setahun. Kemudian didatangkan kepadanya seekor keledai atau seekor kambing atau seekor burung, lalu ia memegangnya." Zainab berkata, "Tidak sekali-kali ia memegang sesuatu melainkan yang disentuhnya itu mati. Kemudian dia keluar (dari rumah kecilnya), lalu diberi kotoran hewan dan dia melemparkannya. Setelah itu dia boleh memakai wewangian atau apapun yang disukainya." Asy-Syafi'i mengatakan, al hafsy artinya rumah kecil lagi hina yang terbuat dari bulu, berupa bangunan atau lainnya. Al qabdhu, memegang salah satu anggota tubuh hewan dengan ujung jarinya. Al qabdhu juga berarti memegang dengan seluruh telapak tangan. 669

Musnad Syafi'i #1438

مسند الشافعي ١٤٣٨: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ صُبَيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، أَوْ حَفْصَةَ، أَوْ حَفْصَةَ وَعَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنَّ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»

Musnad Syafi'i 1438: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Shafiyah binti Ubaid, dari Aisyah atau Hafshah bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa) atas mayit lebih dari 3 malam; kecuali karena ditinggal mati suaminya, maka (ihdadnya) 4 bulan 10 hari."670

Musnad Syafi'i #1439

مسند الشافعي ١٤٣٩: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ طُلَيْحَةَ، كَانَتْ تَحْتَ رُشَيْدٍ الثَّقَفِيِّ فَطَلَّقَهَا الْبَتَّةَ فَنَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا، فَضَرَبَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، أَوْ ضَرَبَ زَوْجَهَا بِالْمِخْفَقَةِ ضَرَبَاتٍ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا الَّذِي تَزَوَّجَهَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ وَكَانَ خَاطِبًا مِنَ الْخَطَّابِ، وَإِنْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنَ الزَّوْجِ الْأَوَّلِ ثُمَّ اعْتَدَّتْ مِنَ الْآخَرِ» ، ثُمَّ لَمْ يَنْكِحْهَا أَبَدًا. قَالَ سَعِيدٌ: وَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْهَا

Musnad Syafi'i 1439: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Al Musayyab dan Sulaiman bin Yasar: Thulaihah pada awal mulanya menjadi istri Rusyaid Ats-Tsaqafi, lalu Rusyaid menceraikannya sampai habis, kemudian Thulaihah dinikahi lagi selagi masih dalam iddahnya. Maka, Umar bin Al Khaththab memukulnya dan juga suaminya beberapa kali dengan cambuk kayu, lalu ia memisahkan keduanya. Kemudian Umar bin Al Khaththab berkata, "Siapapun wanitanya yang melakukan perkawinan dalam iddahnya, jika suami yang menikahinya belum mencampurinya, maka keduanya dipisahkan, kemudian si wanita melanjutkan sisa masa tunggu (iddah) dari suami pertamanya, dan lelaki yang kedua dianggap sebagai salah seorang dari pelamarnya. Jika suami yang baru telah menggaulinya, maka hakim memisahkan keduanya, kemudian si wanita melanjutkan sisa masa tunggu dari suami yang pertama, (sesudah itu) ia kembali melakukan iddah dari suami yang baru. Setelah itu suami yang baru diperbolehkan menikahinya untuk selamanya."671 Sa'id berkata, "Wanita itu berhak memperoleh mahar

Musnad Syafi'i #1440

مسند الشافعي ١٤٤٠: أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ، عَنْ جَرِيرٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ زَاذَانَ أَبِي عُمَرَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَضَى فِي الَّتِي تُزَوَّجُ فِي عِدَّتِهَا أَنَّهُ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا وَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَتُكْمِلُ مَا أَفْسَدَتْ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَتَعْتَدُّ مِنَ الْآخَرِ

Musnad Syafi'i 1440: Yahya bin Hasan mengabarkan kepada kami dari Jarir, dari Atha' bin Saib, dari Zadzan bin Abu Umar, dari Ali : Bahwa ia pernah memutuskan hukum dalam kasus wanita yang kawin di masa iddahnya, yaitu dia memisahkan di antara keduanya dan bagi si wanita diberikan maskawinnya sebagai ganti dari apa yang telah dihalalkan dari farjinya. Kemudian si wanita menyempurnakan sisa dari iddah suami pertama yang ia rusak, kemudian melakukan iddah lagi dari suami yang baru. 672